Laman

Wednesday, May 4, 2011

Landasan Teori Kepuasan Kerja dan Burnout

BAB II
LANDASAN TEORI

II.1  Kepuasan Kerja
II.1.1. Pengertian Kepuasan Kerja
            Kepuasan kerja merujuk pada sikap umum terhadap pekerjaan seseorang; selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu; seseorang yang tak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu (Robbins, 2003).
         Kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik dan penting, karena terbukti besar manfaatnya bagi kepentingan individu, industri, dan masyarakat. Bagi individu penelitian tentang sebab-sebab dan sumber-sumber kepuasan kerja memungkinkan timbulnya suatu usaha-usaha peningkatan kehidupan mereka. Bagi industri, penelitian mengenai kepuasan kerja dilakukan dalam rangka usaha peningkatan produksi dan pengurangan biaya melalui sikap perbaikan dan tingkah laku karyawannya. Selanjutnya masyarakat tentu menikmati hasil kapasitas maksimum dari industri serta naiknya nilai manusia dalam konteks pekerjaan (As’ad, 2004).
         Penelitian di bidang kepuasan kerja itu sendiri bisa dilihat dari tiga macam arah yaitu (As’ad, 2004):
1.      Usaha untuk menemukan faktor-faktor yang menjadi sumber kepuasan kerja serta kondisi-kondisi yang mempengaruhinya. Dengan mengetahui hal ini orang lalu dapat menciptakan kondisi-kondisi tertentu agar karyawan bisa lebih bergairah dan merasa bahagia dalam bekerja.
2.      Usaha untuk melihat bagaimana efek dari kepuasan kerja terhadap sikap dan tingkah laku orang terutama tingkah laku kerja seperti : produktivitas, absentisme, kecelakaan akibat kerja, labour turn over dan sebagainya.
3.      Usaha mendapatkan rumusan atau definisi yang lebih tepat dan bersifat komprehensif mengenai kepuasan kerja itu sendiri.
      Pendapat dan definisi kepuasaan kerja banyak dikemukakan oleh para ahli, antara lain :
·         Robbins (2003) seperti dikutip oleh As’ad, (2004) kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang; selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima.
·         Tiffin (1958) seperti dikutip oleh As’ad, (2004) kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesama karyawan.
·         Blum (1956) seperti dikutip oleh As’ad, (2004) kepuasan kerja merupakan sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri, dan hubungan sosial individual di luar kerja.
·         T. Hani Handoko (2001) Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka.
·         Wexley & Yukl (1977) seperti dikutip oleh As’ad, (2004) kepuasan kerja ialah ”is the way an employee feels about his her job” yang berarti kepuasan kerja sebagai ”perasaan seseorang terhadap pekerjaan”.
         Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan kepuasan kerja adalah emosi seseorang yang dapat dimengerti melalui karakteristik yang dimiliki seseorang tersebut terhadap berbagai aspek pekerjaan, situasi kerja, dan penyesuaian diri terhadap segi sosial dan lingkungan. Pemenuhan kepuasan kerja adalah hal yang penting untuk dapat mencapai tujuan perusahaan. Apabila kepuasan kerja karyawan terpenuhi, maka karyawan merasa akan dihargai dan diperhatikan oleh perusahaan sehingga mereka akan berusaha untuk bekerja dengan sebaik mungkin.

II.1.2. Jenis Kepuasan Kerja
                     Ada beberapa pendapat mengenai jenis kepuasan kerja, seperti yang dikemukakan oleh Robbins (2003) terdiri dari :
a. Kepuasan terhadap gaji/upah
b.      Kepuasan terhadap promosi di perusahaan
c.       Kepuasan terhadap teman kerja
d.      Kepuasan terhadap supervisi
e.       Kepuasan tehadap pekerjaan itu sendiri
Schemerhorn mengidentifikasi lima aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja (dikutip dari www.wikipedia.com), yaitu;
a.       Pekerjaan itu sendiri (Work It self), setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu. Sukar tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja.
b.      Penyelia (Supervision), penyelia yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan, penyelia sering dianggap sebagai figur ayah/ibu dan sekaligus atasannya.
c.       Teman sekerja (Workers), merupakan faktor yang berhubungan antara pegawai dengan atasannya dan pegawai dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya.
d.      Promosi (Promotion), merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karir selama bekerja.
e.       Gaji/Upah (Pay), merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak.
                     Teori kepuasan kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepuasan kerja seperti yang digunakan sebagai landasan teori dalam jurnal berjudul Job Satisfaction and Burnout among Greek Early Educators: A Comparison between Public and Private Sector Employees” ditulis oleh Nikolaos Tsigilis, dkk pada tahun 2006. Menurut Koustelios dan Bagiatis seperti dikutip oleh Tsigilis (2006) ada enam dimensi penting yang mempengaruhi kepuasan kerja. Enam dimensi penting tersebut adalah :
a.       Pekerjaan itu sendiri
b.      Gaji
c.       Promosi
d.      Supervisi
e.       Kondisi kerja
f.       Organisasi secara keseluruhan



II.1.3. Faktor-faktor Kepuasan Kerja
         Banyak orang berpendapat pendapatan, gaji atau upah merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepuasan karyawan, sehingga ketika perusahaan merasa sudah memberikan gaji yang cukup ia merasa bahwa karyawannya sudah puas. Kenyataannya jika seseorang mampu menghidupi kebutuhan hidupnya sehari-hari tanpa kekurangan maka faktor gaji atau upah malah bukan lagi menjadi faktor-faktor kepuasan kerja yang dominan. Sebenarnya kepuasan kerja karyawan tidak mutlak dipengaruhi oleh gaji semata. Pada kenyataannya banyak faktor selain gaji atau upah yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan
         Faktor-faktor itu sendiri dalam peranannya memberikan kepuasan kepada karyawan tergantung pada pribadi masing-masing karyawan. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Ghiselli dan Brown (1950) seperti dikutip oleh As’ad, 2004, yang mengemukakan adanya lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yaitu :
a.       Kedudukan (posisi)
       Umumnya manusia beranggapan seseorang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada mereka yang bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa penelitian menunjukan hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaanlah yang mempengaruhi kepuasan kerja.
b.      Pangkat (golongan)
Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan pangkat, pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya akan dianggap sebagai kenaikan pangkat, dan kebanggan terhadap kedudukan yang baru itu akan mengubah perilaku dan perasaannya.
c.       Umur
Umur di antara 25 tahun sampai dengan 34 tahun dan umur 40 tahun sampai 45 tahun adalah merupakan umur-umur yang bisa menimbulkan perasaan kurang pas terhadap pekerjaan.
d.      Jaminan finansial dan jaminan sosial
 Masalah finansial dan jaminan sosial ini kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan kerja
e.       Mutu pengawasan
 Hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam menaikkan produktivitas kerjanya.
   Harrod E. Burt seperti dikutip oleh As’ad, (2004) mengemukakan pendapatnya tentang faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja sebagai berikut :
a.       Faktor hubungan antar karyawan, antara lain:
1)   Hubungan antara manajer dengan karyawan
2)      Faktor fisik dan kondisi kerja
3)      Hubungan sosial diantara karyawan
4)      Sugesti dari teman sekerja
5)      Emosi dan situasi kerja
b.      Faktor individual, yaitu berhubungan dengan:
1)      Sikap orang terhadap pekerjaanya
2)      Usia orang sewaktu bekerja
3)      Jenis kelamin
c.       Faktor luar (extern), berhubungan dengan:
1)      Keadaan keluarga karyawan
2)      Rekreasi
3)      Pendidikan
   Sedangkan menurut Blum (1956) seperti dikutip oleh As’ad, (2004) faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja sebagai berikut :
a.    Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan.
b.   Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berekreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan politik, dan hubungan kemasyarakatan.
c.    Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas.
   Dari berbagai pendapat di atas dapat dirangkum mengenai faktor-faktor yang memperngaruhi kepuasan kerja yaitu (As’ad, 2004) :
a.       Faktor psikologi merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan keterampilan.
b.      Faktor sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antara sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.
c.       Faktor fisik merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur dan sebagainya.
d.      Faktor finansial merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya.



II.1.4. Teori Kepuasan Kerja
                     As’ad (2004) mengemukakan terdapat 3 teori tentang kepuasan kerja yang secara umum dikenal, yaitu:
a.      Discrepancy Theory
Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter (1961). Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya diterima dengan kenyataan yang dirasakan (difference between how much of something there should be and how much there ”is now”). Locke (1969) menerangkan kepuasan kerja seseorang bergantung pada discrepancy antara should be (expectation, needs, atau values) dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan. Dengan demikian, orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. Apabila yang didapatkan ternyata lebih besar daripada apa yang diinginkannya, maka orang akan menjadi puas lagi walaupun terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy positif. Sebaliknya semakin jauh kenyataan yang dirasakan itu di bawah standar minimal sehingga menjadi negative discrepancy, maka semakin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaannya. Menurut teori ini sikap karyawan terhadap pekerjaannya bergantung bagaimana discrepancy itu dirasakan.

b.      Equity Theory
Equity theory ini dikembangkan oleh Adams (1963). Prinsip dari teori ini adalah puas atau tidak puas seseorang atas pekerjaannya tergantung pada apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Perasaan adil atau tidak adil (equity atau inequity) atas suatu situasi diperoleh dengan membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain.
Menurut teori ini elemen dari equity ada tiga, yaitu:
1.      Input, ialah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumber terhadap pekerjaannya, misalnya pendidikan, pengalaman, keahlian, besarnya usaha, jam kerja, dan sebagainya.
2.      Outcomes, ialah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai hasil dari pekerjaannya, misalnya upah, status, penghargaan, kesempatan untuk berprestasi, dan sebagainya.
3.      Comparation person, ialah kepada orang lain dengan siapa karyawan membandingkan ratio input-outcomes yang dimilikinya.
Jika apa yang diterima nilainya sama dengan apa yang dimiliki orang lain, maka karyawan yang bersangkutan akan merasa perbandingan itu cukup adil dan sendirinya ia akan merasa puas, sebaliknya apabila perbandingan itu  tidak seimbang tetapi menguntungkan (over comparation inequity) bisa menimbulkan kepuasan tetapi tidak bisa pula tidak. Tetapi apabila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan (under comparation inequity) maka timbul ketidakpuasan.
c.       Two Factor Theory
Prinsip dari teori ini adalah kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Artinya kepuasan dan  ketidakpuasan kerja terhadap pekerjaan itu merupakan suatu variabel kontinyu. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Hezberg (1959). Berdasarkan penelitiannya, Hezberg membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu:
1.      Kelompok satisfiers atau kelompok motivator
Satisfiers atau motivator adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikan sebagai sumber kepuasan kerja, misalnya prestasi, penghargaan, tanggung jawab, dan kemajuan. Adanya faktor-faktor ini menimbulkan kepuasan tetapi tidak adanya faktor-faktor ini belum tentu mengakibatkan ketidakpuasan.
2.      Kelompok dissatisfiers atau kelompok hygiene
      Dissatisfiers atau kelompok hygiene adalah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan terdiri dari kebijakan perusahaan dan administrasi, pengawasan teknik, upah, hubungan interpersonal, kondisi kerja, keamanan pekerjaan dan status. Perbaikan dari kondisi ini dapat mengurangi ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja.
II.2 Burnout
II.2.1. Pengertian Burnout
Burnout telah terkonsep sebagai tiga buah dimensi sindrom, namun beberapa penulis setuju kelelahan emosional merupakan komponen penting dalam burnout (Koeske dan Koeske, 1989; Rohland et al., 2004; Shirom dan Ezrachi, 2003 seperti dikutip oleh Tsigilis, 2006). Dua dimensi lainnya yang terdiri dari depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi diri tetap dipandang penting walaupun berbeda, variabel-variabel tersebut tetap berhubungan dengan kelelahan emosional (Koeske dan Koeske, 1989; Shirom dan Ezrachi, 2003 seperti dikutip oleh Tsigilis, 2006). Penelitian sebelumnya telah menemukan kelelahan emosional bisa memprediksi pemenuhan pribadi dan depersonalisasi (Lee dan Ashforth, 1993 seperti dikutip oleh Tsigilis, 2006). Berdasar pada apa yang tersebut di atas hal itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan jika kelelahan emosional sebagai ukuran dari fenomena burnout (Stremmel dkk., 1993 seperti dikutip oleh Tsigilis, 2006).
Burnout merupakan suatu keadaan penderitaan psikologis yang mungkin dialami oleh seorang pekerja yang berpengalaman setelah bekerja untuk suatu periode waktu tertentu. Definisi burnout menurut Maslach dan Jackson seperti dikutip oleh seperti dikutip oleh Ema (2004) adalah sebagai berikut ini: “burnout as a psychological syndrome of emotional exhaustion, depersonalization, and reduced personal accomplishment that can occur among individuals who work with aother people in some capacity”
Burnout menurut Maslach dan Jackson seperti dikutip oleh Ema (2004) merupakan suatu sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu emotional exhaustion (kelelahan emosional), depersonalization (depersonalisasi), dan diminished personal accomplishment (penurunan pencapaian prestasi diri). Lebih lanjut dijelaskan burnout merupakan respon terhadap ketegangan-ketegangan emosional yang muncul karena berhubungan secara intensif dengan orang lain.
Variabel kepuasan kerja menurut Maslach dan Jackson seperti dikutip oleh (Maslach, 1980) terdiri dari;
a.       Kelelahan emosional (emotional exhaustion)
Berbeda dengan kelelahan fisik, seorang individu yang mengalami kelelahan emosional tidak akan hilang dengan istirahat fisik, seperti tidur.
b.      Depersonalisasi (depersonalization)
Muncul sikap membedakan terhadap individu yang ditolong, sinis atau kasar. Hal ini muncul sebagai usaha untuk mengambil jarak psikologis dari individu yang ditolongnya, dengan demikian diharapkan tekanan emosional akan berkurang.
c.       Penurunan pencapaian prestasi diri (diminished personal accomplishment)
Adanya perasaan diri tidak mampu lagi secara profesi untuk membantu menolong orang yang harus ditolongnya. Perasaan apapun yang dilakukan sudah tidak akan memberi hasil yang positif (sia-sia) sehingga ia berhenti berusaha dan cenderung menjadi apathy.

II.2.2. Faktor-faktor Penyebab Burnout
Sebagaimana dikemukakan oleh Cherniss (1980), Maslach (1982), dan Sullivan (1989) seperti dikutip oleh Ema (2004) terdiri dari empat faktor, yaitu:
a.       Faktor keterlibatan dengan penerima pelayanan
Dalam pekerjaan pelayanan sosial (human services atau helping profession), para pekerjanya memiliki keterlibatan langsung dengan objek kerja atau kliennya (Cherniss, 1980).
b.      Faktor lingkungan kerja
Faktor ini berkaitan dengan beban kerja yang berlebihan, konflik peran, ambiguitas peran, dukungan sosial dari rekan kerja yang tidak memadai, dukungan sosial dari atasan tidak memadai, kontrol yang rendah terhadap pekerjaan, peraturan-peraturan yang kaku, kurangnya stimulasi dalam pekerjaan.
c.       Faktor individu
Faktor ini meliputi faktor demografik (jenis kelamin, latarbelakang etnis, usia, status perkawinan, latarbelakang pendidikan), dan karakteristik kepribadian (konsep rendah diri, kebutuhan dan motivasi diri terlalu besar, kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi, locus of control eksternal, introvert).
d.      Faktor sosial budaya
Faktor ini meliputi keseluruhan nilai yang dianut masyarakat umum berkaitan dengan profesi pelayan sosial.
Baron dan Greenberg (1995) seperti dikutip oleh Andharika (2004) mengemukakan ada dua faktor yang mempengaruhi burnout yaitu:
a.       Faktor eksternal yang meliputi kondisi kerja yang buruk, kurangnya kesempatan untuk promosi, adanya prosedur dan aturan-aturan yang kaku, gaya kepemimpinan yang kurang konsiderasi, tuntutan pekerjaan.
b.  Faktor internal meliputi: jenis kelamin, usia, harga diri.
salam kekuatan berawal dari hati  bayoete.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Silahkan Komentar maupun Pesannya.... lampirkan alamat email atau web anda:..... Thanks